Kamis, 10 Desember 2015

Penghulu Haji HASAN MUSTAFA

Haji Hasan Mustafa (Garut, Jawa Barat, 1268 H/3 Juni 1852 M – Bandung, 1348 H/13 Januari 1930) adalah seorang ulama dan pujangga Islam yang banyak menulis masalah agama dan tasawuf dalam bentuk guritan (pusisi yang berirama dalam bahasa Sunda), pernah menjadi kepala penghulu di Aceh pada zaman Hindia Belanda.
Haji Hasan Mustafa lahir dan hidup dalam lingkungan menak (bangsawan Sunda), tetapi berorientasi pada pesantren. [Ayahnya, Mas Sastramanggala, setelah naik haji disebut Haji Usman, camat perkebunan.] Karena kekerasan hati ayahnya ia tidak dididik melalui bangku sekolah yang akan membukakan dunia menak bagi masa depannya, melainkan dimasukkan ke pesantren. Pertama-tama ia belajar mengaji dari orang tuanya, kemudian belajar qiraah (membaca al-Qur’an dengan baik) dari Kiai Hasan Basri, seorang ulama dari Kiarakoneng, Garut, dan dari seorang qari yang masih berkerabat dengan ibunya.

Ketika berusia 8 tahun, ia dibawa ayahnya menunaikan ibadah haji untuk pertama kali. Di Mekah ia bermukim selama setahun dan belajar bahasa Arab dan membaca al-Qur’an. Sepulangnya dari Mekah di masukkan ke berbagai pesantren di Garut dan Sumedang. Ia belajar dasar-dasar ilmu syaraf dan nahwu (tata bahasa Arab) kepada Rd. H Yahya, seorang pensiunan penghulu di Garut. Kemudian ia pindah ke Abdul Hasan, seorang kiai dari Sawahdadap, Sumedang. Dari Sumedang ia kembali lagi ke Garut untuk belajar kepada Kiai Muhammad Irja, murid Kiai Abdul Kahar, seorang kiai terkenal dari Surabaya dan murid dari Kiai Khalil Madura, pemimpin Pesantren Bangkalan, Madura. Pada tahun 1874, ia berangkat untuk kedua kalinya ke Mekah guna memperdalam ilmu-ilmu keagamaan Islam. Kali ini ia bermukim di Mekah selama 8 tahun. Ketika berada di Mekah ia berkenalan dengan Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang sedang meneliti masyarakat Islam di Mekah. Pertemuan itu membuat hubungan keduanya akrab sampai Haji Hasan Mustafa meninggal dunia dan Snouck Hurgronje kembali ke negerinya setelah menunaikan tugas pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.

Menurut data yang diperoleh dari P.S. van Koningsveld, seorang ahli bahasa Arab dan agama Islam di Belanda, melalui naskah asli Abu Bakar Djajadiningrat, seorang ulama Indonesia, yang dianggap sebagai sumber utama Snouck Hurgronje tentang Mekah, diperoleh informasi bahwa Haji Hasan Mustafa adalah seorang ulama terkemuka dari Jawa yang berada di Mekah menjelang akhir abad ke-19. Ia dianggap setingkat dengan Haji Ahmad Banten, putra Syekh Nawawi al-Jawi (Nawawi al-Bantani). Dalam urutan nama ulama Jawa terkemuka di Mekah saat itu, Haji Hasan Mustafa ditempatkan dalam urutan keenam. Ia mengajar di Masjidil Haram dan mempunyai 30 orang murid. Haji Hasan Mustafa menulis buku dalam bahasa Arab,Fath al-Mu’in (Kunci Penolong), yang diterbitkan di Mesir.

Haji Hasan Mustafa adalah seorang ulama yang menguasai berbagai macam ilmu yang diperoleh dari guru-gurunya di Mekah. Selain kepada Syekh Nawawi al-Bantani, ia juga berguru pada Syekh Mustafa al-Afifi, Syekh Abdullah az-Zawawi, Hasballah, dan Syekh Bakar as-Satha, semuanya adalah orang Arab.
Haji Hasan Mustafa meninggalkan Mekah pada tahun 1882, karena dipanggil oleh RH. Muhammad Musa, penghulu Garut pada masa itu. Ia dipanggil pulang untuk meredakan ketegangan akibat perbedaan paham di antara para ulama di Garut. Berkat usaha Haji Hasan Mustafa dan bantuan RH. Muhammad Musa, perselisihan itu dapat diredakan. Selama 7 tahun ia memberikan pelajaran agama siang dan malam, terutama di Masjid Agung Garut.
Karena pengetahuan agamanya yang luas, Snouck Hurgronje pada tahun 1889 memintanya untuk mendampinginya dalam perjalanan keliling Jawa dan Madura. Ketika itu Snouck Hurgronje adalah penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang masalah Bumiputra dan Arab. Ia menjadi pembantu Snouck Hurgronje selama 7 tahun. Atas usul Snouck Hurgronje, pemerintah Belanda mengangkat Haji Hasan Mustafa menjadi kepala penghulu di Aceh pada tanggal 25 Agustus 1893.

Jabatan kepala penghulu di Aceh dipegangnya selama 2 tahun (1893-1895). Kemudian pada tahun 1895 ia kembali ke Bandung dan menjadi penghulu Bandung selama 23 tahun. Akhirnya pada tahun 1918, atas permintaannya sendiri ia memperoleh pensiun.
Haji Hasan Mustafa adalah seorang ulama yang sabar, berpendirian teguh dan berani mengemukakan pendapat serta pendirian. Ia mengembangkan ajaran islam melalui tugas sebagai penghulu dan kegiatannya sebagai pengajaran agama dan tasawuf dalam pertemuan-pertemuan informal. Di antara muridnya terdapat Kiai Kurdi dari Singaparna, Tasikmalaya, yang mempunyai sebuah pesantren.
Ajaran Islam ditulis dan diajarkannya dengan menggunakan lambang-lambang yang terdapat dalam pantun serta wayang tradisional Sunda. Metafora yang dipergunakan sering bersifat khas Sunda. Penyampaian ajaran agama Islam begitu dekat dengan kebudayaan setempat (Sunda). Ia memetik 104 ayat al-Qur’an untuk orang Sunda. Jumlah itu dianggap cukup dan sesuai dengan kemampuan orang Sunda dalam memahami ajaran islam.
Aliran mengenai tasawuf yang dianut dan diajarkan kepada muridnya tidak diketahui dengan pasti. Akan tetapi beberapa orang menyebutkan bahwa ia menganut aliran Syattariah, suatu tarekat yang berasal dari India, didirikan oleh Syekh Abdullah Asy-Syattar, dikembangkan di Indonesia mula-mula oleh Syekh Abdur Rauf Singkel, dan menyebar ke Jawa Barat karena peranan Syekh Haji Abdul Muhyi, salah seorang murid Syekh Abdur Rauf Singkel. Dalam karyanya ia sering menyebut nama al-Ghazali sebagai sufi yang dikaguminya.

Haji Hasan Mustafa menyebarkan ajaran Islam melalui karya-karya seninya yang sangat berlainan dengan karya-karya seni Sunda pada masa itu. Umumnya yang dibahas adalah maslah-masalah ketuhanan (tasawuf). Bentuk formalnya mirip dengan kitab-kitab suluk dalam bahasa Jawa, tetapi isinya lebih dekat dengan tradisi puisi tasawuf. Karya-karya itu merupakan perpaduan atas tanggapan, renungan, dan pendapat Haji Hasan Mustafa terhadap bermacam-macam pengetahuan yang dikuasainya, yakni agama Islam, tasawuf, kebudayaan Sunda, dan peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Hampir semua karyanya ditulis dalam huruf pegon (tulisan menggunakan huruf Arab tetapi kata-kata dalam bahasa Jawa atau Sunda).

[Sekitar tahun 1900 ia menulis lebih dari 10.000 bait dangding yang mutunya dianggap sangat tinggi oleh para pengeritik sastra Sunda. Karya tersebut umumnya membahas masalah suluk, terutama membahas hubungan antara hamba (kaula) dengan Tuhan (Gusti). Metafora yang sering digunakannya untuk menggambarkan hubungan itu ialah seperti rebung dengan bambu, seperti pohon aren dengan caruluk(bahan aren), yang menyebabkan sebagian ulama menuduhnya pengikut mazhabwahdatul-wujud. Terhadap tuduhan itu, ia sempat membuat bantahan Injaz al-Wa’d, fi Ithfa al-Ra’d (membalas kontan sekalian membekap guntur menyambar) dalam bahasa Arab yang salah satu salinan naskahnya masih tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden.]
Karya-karyanya yang pernah dicetak dan dijual kepada umum adalah Bab Adat-Adat Urang Sunda Jeung Priangan Liana ti Éta (1913), esei tentang suku Sunda, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Belanda (1977); Leutik Jadi Patélaan Adatna Jalma-Jalma di Pasundan (1916); Pakumpulan Atawa Susuratanana Antara Juragan Haji Hasan Mustafa Sareng Kyai Kurdi (1925); Buku Pengapungan (Hadis Mikraj, tahun 1928); dan Syekh Nurjaman (1958).

Di samping itu terdapat pula buku-bukunya yang hanya dicetak dan diedarkan di kalangan terbatas, seperti Buku Pusaka Kanaga Wara, Pamalatén, Wawarisan, danKasauran Panungtungan. Semua buku tersebut tidak diketahui tahun terbitnya.
Karya-karyanya yang dipublikasikan dalam bentuk stensilan ialah Petikan Qur’an Katut Abad Padikana (1937) dan Galaran Sasaka di Kaislaman (1937). Masih ada karya lain yang tidak dipublikasikan dan disimpan oleh M. Wangsaatmadja (sekretarisnya, 1923-1930). Pada tahun 1960 naskah tersebut diketik ulang dan diberi judul Aji Wiwitan (17 jilid). [Selain itu, Haji Hasan Mustapa menulis naskah dalam bahasa melayu Kasful Sarair fi Hakikati Aceh wa Fidir (Buku Rahasia Sebetulnya Aceh dan Fidi) yang sampai sekarang naskahnya tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden.]

Pada tahun 1977 haji Hasan Mustafa sebagai sastrawan Sunda memperoleh hadiah seni dari presiden Republik Indonesia secara anumerta.*** (Sumber: Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal. 183-184. Tulisan di dalam kurung tegak merupakan catatan tambahan dari Ensiklopedi Sunda.)


Kamis, 09 Oktober 2014

Saudi dan Wahabi dalam Buku ‘Api Sejarah’ Ahmad Mansur Suryanegara ...

Ada banyak hal yang menarik dan luar biasa dari buku Api Sejarah karya Dr. Ahmad Mansur Suryanegara yang menggoncangkan kemapamanan manipulasi sejarah Islam selama ini. Namun saat ini yang paling menarik perhatian penulis dari buku itu adalah penyebutan Saudi dan Wahabi dalam kaitannya dengan imperialisme dan kolonialisme Barat terhadap dunia Islam.

Pada beberapa tempat dalam bukunya, Ahamd Mansur Suryanegara menyebutkan Saudi dan Wahabi dengan;

Saudi wahabi berkolaborasi dengan Kerajaan Protestan Anglikan Inggirs untuk menggulingkan raja Husein dan putranya Raja Ali (Ahli sunnah wal jama’ah) yang mengangkat dirinya sebagai Khalifah setelah Sultan Turki Utsmani Abdul Majid diturunkan pada 3 Maret 1924.

Saudi wahabi bekerjasama dengan zionisme dan Kerajaan Protestan Anglikan Inggris menggulingkan Raja Husein yang mengklaim batas wilayah Arabia meliputi Palestina dan Syiria bekas wilayah Kesultanan Turki. Klaim atas kedua wilayah tersebut menjadikan Raja Husein dimakzulkan. Kelanjutan dari kerjasama tersebut, kerajaan Protestan Anglikan Inggris mengakui Abdul Aziz bin Saud, wahabi, sebagai Raja Kerajaan Saudi Arabia yang tidak mengklaim wilayah palestina dan Syiria sebagai wilayahnya. Hal ini memungkinkan berdirinya Negara Israel sesudah perang dunia II 1939-1945 M. Tepatnya 15 Mei 1948.

Wahabi di Nusantara pada saat meletusnya perang Padri 1821-1837 M mendapatkan bantuan dari Amerika karena sebelumnya sudah terjalin kontak dagang di antara mereka di Agam Sumatera Barat. Pemerintah kolonial Protestan Belanda dalam usahanya meniadakan pengaruh Amerika di Sumatera Barat, menggunakan potensi kaum adat melawan Wahabi dalam perang Padri yang berlangsung selama 17 tahun. Operasi serdadu Belanda di Sumatera barat, sepintas seperti hanya bertujuan menumpas perkembangan wahabisme. Namun, tujuan sebenarnya mengusir Amerika dan Inggris yang mengadakan kontak dagang dengan kaum Padri atau wahabi di Padang.

Inggris dan Amerika menggunakan potensi wahabisme untuk melumpuhkan kekhilafahan Turki yang Ahli sunnah wal jama’ah.

Proses tumbangnya kerajaan Arabia di bawah Raja Husein, diawali dengan timbulnya tuntutan rakyat Arabia, kemudian Raja Husein digantikan putranya Raja Ali. Keduanya ditumbangkan oleh serbuan Abdul Aziz bin Saud dari Kuwait, penganut wahabi ke Hijaz, Makkah, dan Madinah, pada 1343 H / 1925 M dengan bantuan Inggris dan Amerika. Dengan demikian berdirilah kerajaan Saudi Arabia dari wahabisme, 1343 H / 1925 M.

Wilayahnya atau kerajaannya disebut Saudi Arabia. Jadi penyebutan jazirah Arabia berubah menjadi jazirah Saudi Arabia sejak dikuasai Abdul Aziz bin Saud. Sebelum raja-raja wahabisme berkuasa hanya disebut sebagai jazirah Arab.

Tidak ada ulama dari kalangan wahabi Indonesia yang bekerjasama dengan penjajah Barat seperti ulama di Saudi Arabia, timur tengah, yang bekerjasama dengan Inggris dan Amerika. Ahli sunnah wal jama’ah dan wahabi di Indonesia, keduanya menentang imperialisme barat.

Itulah kutipan-kutipan dari buku Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara terkait hubungan Saudi Arabia dengan imperialisme Barat di awal berdirinya.

Dua kesimpulan penulis dari data-data di atas adalah; pertama, Ahmad Mansur Suryanegara bisa jadi beranggapan wahabisme Saudi adalah pengkhianat (pemberontak) terhadap kekhilafahan Turki Utsmaniyah, dan kedua wahabisme Saudi telah bekerjasama dengan Inggris dan Amerika memberikan tanah Palestina ke zionis Yahudi.

Kaitan dengan hal itu Rizky Ridyasmara menulis di eramuslim.com tentang peran “Lawrence of Arabia” dibalik berdirinya kerajaan Saudi. Berikut kutipannya,

sebuah film yang dirilis tahun 1962 berjudul ‘Lawrence of Arabia’ yang banyak mendapatkan penghargaan internasional, dikisahkan tentang peranan seorang letnan dari pasukan Inggris bernama lengkap Thomas Edward Lawrence, anak buah dari Jenderal Allenby (jenderal ini ketika merebut Yerusalem menginjakkan kakinya di atas makam Salahuddin Al-Ayyubi dan dengan lantang berkata, “Hai Saladin, hari ini telah kubalaskan dendam kaumku dan telah berakhir Perang Salib dengan kemenangan kami!”).

Film ini memang agak kontroversial, ada yang membenarkan namun ada juga yang menampiknya. Namun produser mengaku bahwa film ini diangkat dari kejadian nyata, yang bertutur dengan jujur tentang siapa yang berada di balik berdirinya Kerajaan Saudi Arabia.

Konon kala itu Jazirah Arab merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, sebuah kekhalifahan umat Islam dunia yang wilayahnya sampai ke Aceh. Lalu dengan bantuan Lawrence dan jaringannya, suatu suku atau klan melakukan pemberontakan (bughot) terhadap Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan mendirikan kerajaan yang terpisah, lepas, dari wilayah kekhalifahan Islam itu.

Bahkan di film itu digambarkan bahwa klan Saud dengan bantuan Lawrence mendirikan kerajaan sendiri yang terpisah dari khilafah Turki Utsmani. Sejarahwan Inggris, Martin Gilbert, di dalam tulisannya “Lawrence of Arabia was a Zionist” seperti yang dimuat di Jerusalem Post edisi 22 Februari 2007, menyebut Lawrence sebagai agen Zionisme.

Sejarah pun menyatakan, hancurnya Kekhalifahan Turki Utsmani ini pada tahun 1924 merupakan akibat dari infiltrasi Zonisme setelah Sultan Mahmud II menolak keinginan Theodore Hertzl untuk menyerahkan wilayah Palestina untuk bangsa Zionis-Yahudi. Operasi penghancuran Kekhalifahan Turki Utsmani dilakukan Zionis bersamaan waktunya dengan mendukung pembrontakan Klan Saud terhadap Kekalifahan Utsmaniyah, lewat Lawrence of Arabia.

Entah apa yang terjadi, namun hingga detik ini, Kerajaan Saudi Arabia, walau Makkah al-Mukaramah dan Madinah ada di dalam wilayahnya, tetap menjadi sekutu terdekat Amerika Serikat. Mereka tetap menjadi sahabat yang manis bagi Amerika.

Selain film ‘Lawrence of Arabia’, ada beberapa buku yang bisa menggambarkan hal ini yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Antara lain:

* Wa’du Kissinger (Belitan Amerika di Tanah Suci, Membongkar Strategi AS Menguasai Timur Tengah, karya DR. Safar Al-Hawali—mantan Dekan Fakultas Akidah Universitas Ummul Quro Makkah, yang dipecat dan ditahan setelah menulis buku ini, yang edisi Indonesianya diterbitkan Jazera, 2005)
* Dinasti Bush Dinasti Saud, Hubungan Rahasia Antara Dua Dinasti Terkuat Dunia (Craig Unger, 2004, edisi Indonesianya diterbitkan oleh Diwan, 2006)
* Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia (George Lenczowski, 1992)
* History oh the Arabs (Philip K. Hitti, 2006)

Sebab itu, banyak kalangan yang berasumsi bawah berdirinya Kerajaan Saudi Arabia adalah akibat "pemberontakan" terhadap Kekhalifahan Islam Turki Utsmani dan diback-up oleh Lawrence, seorang agen Zionis dan bawahan Jenderal Allenby yang sangat Islamofobia. Mungkin realitas ini juga yang sering dijadikan alasan, mengapa Arab Saudi sampai sekarang kurang perannya sebagai pelindung utama bagi kekuatan Dunia Islam.

Republika (27/12/2009) menulis dalam rubrik Islam Digest terkait Saudi dan Wahabi sebagai berikut,

Abdullah Mohammad Sindi, seorang professor Hubungan Internasional berkebangsaan Saudi-Amerika, dalam artikelnya yang bertajuk Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud, menyebutkan, pemerintah kerajaan Inggris turut andil dalam membidani kelahiran gerakan Wahabi.

Menurutnya, Inggrislah yang telah merekayasa Abdul Wahhab sebagai imam dan pendiri gerakan Wahabi, untuk tujuan menghancurkan Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Turki Utsmani.

Seluk beluk tentang konspirasi Inggris dengan Abdul Wahhab, papar Prof Sindi, tertulis dalam buku memoir Hempher: The British Spy to the Midle East. Dalam karya tersebut, sebagaimana dikutip Nur Khalik Ridwan dalam buku Doktrin Wahabi dan benih-Benih Radikalisme Islam, Hempher menyebut sang pendiri Wahabi sebagai asuhan dari mata-mata Inggris.

Hempher dalam memoir itu, menyebut dirinya sebagai guru Abdul Wahhab, sang pendiri sekaligus ideolog Wahabi. Guna memudahkan tugasnya sebagai seorang mata-mata Inggris, menurut Prof Sindi, Hempher berpura-pura menjadi seorang Muslim dan memakai nama Muhammad.

Dengan cara yang licik, Hempher mendekati Abdul Wahhab dalam waktu yang relatif lama. Menurut Prof Sindi, Hempher telah memberi Abdul Wahhab uang dan hadiah-hadiah lainnya, mencuci otaknya dengan meyakinkannya bahwa orang-orang Islam mesti dibunuh, karena mereka telah melakukan penyimpangan yang berbahaya.

Mereka (kaum Muslim) telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar. Mereka semua telah melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik. Hempher juga membuat sebuah mimpi liar, dan mengatakan bahwa dia bermimpi Nabi Muhammad SAW mencium kening Abdul Wahhab.

Berdasarkan versi itu, Abdul Wahhab menjadi terobsesi dan merasa bertanggung jawab untuk melahirkan suatu aliran baru di dalam Islam, yang bertujuan memurnikan dan mereformasi Islam, aliran ini lalu menyerang dan memberantas semua adat kebiasaan buruk yang terdapat dalam masyarakat Arab.

Menurut Wahabi orang yang menyembah selain Allah SWT telah musyrik dan boleh dibunuh. Wahabi pun dipandang sebagai salah satu aliran yang menumbuhkan benih-benih radikalisme dalam Islam.

Benarkah semua itu? Karena hal di atas jelas dibantah dengan sangat dahsyat oleh pihak yang berseberangan. Nampaknya masih perlu penelitian sejarah yang lebih teliti dan akurat. Penulis sendiri belum bisa mengambil kesimpulan dan pendapat mana yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan. Wallahu A’lam

Allahumma Arinal haqqa Haqqan war Zuqnat Tiba’ah wa Arinal Bathila Bathilan war Zuqnaj Tinabah......

Senin, 07 Oktober 2013

MASJID DAN FUNGSINYA



Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan - kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.
Masjid pertama
Ketika Nabi Muhammad saw tiba di Madinah, beliau memutuskan untuk membangun sebuah masjid, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Nabawi, yang berarti Masjid Nabi. Masjid Nabawi terletak di pusat Madinah. Masjid Nabawi dibangun di sebuah lapangan yang luas. Di Masjid Nabawi, juga terdapat mimbar yang sering dipakai oleh Nabi Muhammad saw[1]. Masjid Nabawi menjadi jantung kota Madinah saat itu. Masjid ini digunakan untuk kegiatan politik, perencanaan kota, menentukan strategi militer, dan untuk mengadakan perjanjian. Bahkan, di area sekitar masjid digunakan sebagai tempat tinggal sementara oleh orang-orang fakir miskin.
Saat ini, Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsa adalah tiga masjid tersuci di dunia.[3]
Penyebaran masjid
Masjid kemudian dibangun di daerah luar Semenanjung Arab, seiring dengan kaum Muslim yang bermukim di luar Jazirah Arab. Mesir menjadi daerah pertama yang dikuasai oleh kaum Muslim Arab pada tahun 640. Sejak saat itu, ibu kota Mesir, Kairo dipenuhi dengan masjid. Maka dari itu, Kairo dijuluki sebagai kota seribu menara.[4] Beberapa masjid di Kairo berfungsi sebagai sekolah Islam atau madrasah bahkan sebagai rumah sakit.[5] Masjid di Sisilia dan Spanyol tidak menirukan desain arsitektur Visigoth, tetapi menirukan arsitektur bangsa Moor.[6] Para ilmuwan kemudian memperkirakan bahwa bentuk bangunan pra-Islam kemudian diubah menjadi bentuk arsitektur Islam ala Andalus dan Magribi, seperti contoh lengkung tapal kuda di pintu-pintu masjid.[7]
http://bits.wikimedia.org/static-1.22wmf19/skins/common/images/magnify-clip.png
Menara Masjid Raya Xi'an di Xi'an, Cina
Masjid pertama di Cina berdiri pada abad ke 8 Masehi di Xi'an. Masjid Raya Xi'an, yang terakhir kali di rekonstruksi pada abad ke 18 Masehi, mengikuti arsitektur Cina. Masjid di bagian barat Cina seperti di daerah Xinjiang, mengikuti arsitektur Arab, dimana di masjid terdapat kubah dan menara. Sedangkan, di timur Cina, seperti di daerah Beijing, mengandung arsitektur Cina.[8]
Masjid mulai masuk di daerah India pada abad ke 16 semasa kerajaan Mugal berkuasa. Masjid di India mempunyai karakteristik arsitektur masjid yang lain, seperti kubah yang berbentuk seperti bawang. Kubah jenis ini dapat dilihat di Masjid Jama, Delhi.
Masjid pertama kali didirikan di Kesultanan Utsmaniyah pada abad ke 11 Masehi, dimana pada saat itu orang-orang Turki mulai masuk agama Islam. Beberapa masjid awal di Turki adalah Aya Sofya, dimana pada zaman Bizantium, bangunan Aya Sofya merupakan sebuah katedral. Kesultanan Utsmaniyah memiliki karakteristik arsitektur masjid yang unik, terdiri dari kubah yang besar, menara dan bagian luar gedung yang lapang. Masjid di Kesultanan Usmaniyah biasanya mengkolaborasikan tiang-tiang yang tinggi, jalur-jalur kecil di antara shaf-shaf, dan langit-langit yang tinggi, juga dengan menggabungkan mihrab dalam satu masjid.[9] Sampai saat ini, Turki merupakan rumah dari masjid yang berciri khas arsitektur Utsmaniyah.
Secara bertahap, masjid masuk ke beberapa bagian di Eropa. Perkembangan jumlah masjid secara pesat mulai terlihat seabad yang lalu, ketika banyak imigran Muslim yang masuk ke Eropa. Kota-kota besar di Eropa, seperti München, London dan Paris memilki masjid yang besar dengan kubah dan menara. Masjid ini biasanya terletak di daerah urban sebagai pusat komunitas dan kegiatan sosial untuk para muslim di daerah tersebut. Walaupun begitu, seseorang dapat menemukan sebuah masjid di Eropa apabila di sekitar daerah tersebut ditinggali oleh kaum Muslim dalam jumlah yang cukup banyak.[10] Masjid pertama kali muncul di Amerika Serikat pada awal abad ke 20. Masjid yang pertama didirikan di Amerika Serikat adalah di daerah Cedar Rapids, Iowa yang dibangun pada kurun akhir 1920an. Bagaimanapun, semakin banyak imigran Muslim yang datang ke Amerika Serikat, terutama dari Asia Selatan, jumlah masjid di Amerika Serikat bertambah secara drastis. Dimana jumlah masjid pada waktu 1950 sekitar 2% dari jumlah masjid di Amerika Serikat, pada tahun 1980, 50% jumlah masjid di Amerika Serikat didirikan.[11]
Perubahan tempat ibadah menjadi masjid
Menurut sejarawan Muslim, sebuah kota yang ditaklukkan tanpa perlawanan dari penduduknya, maka pasukan Muslim memperbolehkan penduduk untuk tetap mempergunakan gereja dan sinagog mereka. Tapi, ada beberapa gereja dan sinagog yang beralih fungsi menjadi sebuah masjid dengan persetujuan dari tokoh agama setempat. Misal pada perubahan fungsi Masjid Umayyah, dimana khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik mengambil gereja Santo Yohannes pada tahun 705 dari Umat Kristiani. Kesultanan Utsmaniyah juga melakukan alih fungsi terhadap beberapa gereja, biara dan kapel di Istanbul, termasuk gereja terbesar Ayasofya yang diubah menjadi masjid, setelah kejatuhan kota Konstantinopel pada tahun 1453 oleh Muhammad al-Fatih. Beberapa masjid lainnya juga didirikan di daerah suci milik Yahudi dan Kristen, seperti di Yerusalem.[1] Penguasa Muslim di India juga membangun masjid hanya untuk memenuhi tugas mereka di bidang agama.
Sebaliknya, masjid juga dialih fungsikan menjadi tempat ibadah yang lain, seperti gereja. Hal ini dilakukan oleh umat Kristiani di Spanyol yang mengubah fungsi masjid di selatan Spanyol menjadi katedral, mengikuti keruntuhan kekuasaan Bani Umayyah di selatan Spanyol.[12] Masjid Agung Kordoba sekarang dialih fungsikan menjadi sebuah gereja. Beberapa masjid di kawasan Semenanjung Iberia, Eropa Selatan dan India juga dialih fungsikan menjadi gereja atau pura setelah kekuasaan Islam tidak berkuasa lagi

Jumat, 01 Oktober 2010

Minggu, 25 Juli 2010

MUTIARA HIKMAH ( 1 ).

Kita hanya menjadi siap untuk hal-hal yang kita siapkan.
Kita harus menyiapkan diri untuk menjadi pribadi yang pantas
menjadi pribadi yang damai, berpengarh, dan kaya – karena pada saat kita siap – kita sudah menjadi.

Semua kejadian baik dan besar yang kita sebut keberhasilan itu, dicapai dengan menaiki tangga yang dibangun dari penyelesaian-penyelesaian dari rencana-rencana kita.

Ketahuilah, bahwa hidup dengan sepenuhnya ikhlas dalam kebaikan,
adalah persiapan bagi kehidupan abadi yang indah dan mulia
bersama semua jiwa terkemuka di surga nanti. ( Mario Teguh ).